A. Pendahuluan
Suatu
lembaga pendidikan akan berhasil atau maju apabila suatu pekerjaan yang
ditangani secara profesionalis oleh suatu ekosistem lembaga pendidikan
tersebut, baik dari wilayah lembaga maupun hubungan yang terjadi dengan wilayah
lembaga tersebut. Namun suatu pekerjaan tersebut harus dikerjakan secara
sungguh-sungguh dan serius oleh orang yang memiliki profesi di bidang tersebut.
Pengelolaan
pendidikan yang belum sesuai standar manajemen pendidikan ini mungkin akibat
tidak sesuainya hasil dari pendidikan yang tidak berbuah dan tidak menjamin
terpenuhinya kompetensi, dan masih adanya kekeliruan etika yang hanya
memberikan pengetahuan saja, sehingga masih banyak kejadian yang tidak terpuji
secara etika dan normatif. Etika yang dibangun adalah menjadikan pendidikan
dapat membentuk karakteristik untuk menjadi manusia yang baik, berbudi pekerti
luhur, moral yang tinggi dan dapat menjadi modal hidup bagi manusia yang
menjunjung tinggi etika.
Guru
adalah salah satu di antara faktor pendidikan yang memiliki peranan yang paling
strategis, sebab gurulah sebetulnya pemain yang paling menentukan didalam
terjadinya proses belajar mengajar. Berangkat dari asumsi tersebut, maka
langkah pertama yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan adalah
dengan memperbaiki kualitas tenaga pendidiknya terlebih dahulu.
Dengan
uraian diatas maka timbul pertanyaann upaya apakah yang dilakukan sehingga
seorang guru menempatkan dirinya sebagai tenaga profesionalis. Untuk itu,
makalah ini akan mncoba menguraikan apa
Model-Model Etika Guru Profesional?, apa Model pengembangan profesi guru?
A.
Model-Model Etika Guru Profesional
Pendidikan yang
memenuhi etika adalah pendidikan yang memiliki akuntabilitas yang tinggi
dalam menyelenggarakannya. Akunstabilitas mampu membatasi ruang gerak
terjadinya perubahan, pengulangan dan revisi perencanaan. Sebagai alat kontrol
akuntabilitas memberi kepastian pada aspek-aspek penting perencanan yaitu
tujuan atau fenomena yang ingin dicapai, program atau tugas yang harus dikerjakan
mencapai tujuan, cara atau pelakasanaan mengerjakan tugas, dana, alat, dan
metode yang dipakai jelas, lingkungan tempat program yang dilaksanakan.
Sedangkan akuntabilitas pelayanan pendidikan di sekolah mempersoalkan
etika dan moralitas penyelenggaraan yang dilakukan dengan berbagai upaya agar
kelembagaan sekolah dapat dipercaya, memiliki tanggung jawab kepada berbagai
pihak kepentingan, sehingga memperoleh kepuasan atas kualitas kinerja sekolah. Dalam
hal ini diperlukan model-model etika seorang guru yang profesional,yaitu:
1.
Etika
Guru Profesional Terhadap Peraturan Undang-Undang
Pada butir kesembilan
Kode Etik Guru Indonesia disebutkan bahwa “Guru melaksanakan segala kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan”. Dengan jelas bahwa dalam kode etik
tersebut diatur bahwa guru di Indonesia harus taat akan peraturan
perundang-undangan yang di buat oleh pemerintah dalam hal ini Departemen
Pendidikan Nasonal. Guru merupakan aparatur negara dan abdi negara dalam bidang
pendidikan. Oleh karena itu, guru mutlak harus mengetahui
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan dan
melaksanakannya sebagaimana aturan yang berlaku. Sebagai contoh pemerintah
mengeluarkan kebijakan yaitu mengubah kurikulum dari kurikulum KTSP dan
kemudian diubah lagi menjadi kurikulum 2013 dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam kurikulum
tersebut, secara eksplisit bahwa hendaknya guru menggunakan pendekatan
sainstifik dalam pembelajarannya. Seorang guru yang profesional taat akan
peraturan yang berlaku dengan cara menerapkan kebijakan pendidikan yang baru
tersebut dan akan menerima tantangan baru tersebut, yang nantinya diharapkan
akan dapat memacu produktivitas guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan
nasional.
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa etika guru
profesional terhadap Peraturan Undang-Undang adalah seorang guru itu dituntut
untuk mentaati segala sesuatu yang terdapat di dalam peraturan Peraturan
Undang-Undang yang telah dibuat oleh pemerintah, seorang guru itu harus
memiliki empat kompetensi yaiut: kompetensi pedagogik, kompetensi sosial,
kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui
pendidikan profesi.
2.
Etika Guru Profesional Terhadap
Anak Didik
Dalam Kode Etik Guru
Indonesia dengan jelas dituliskan bahwa guru berbakti membimbing peserta didik
untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa pancasila. Dalam membimbing anak
didiknya Ki Hajar Dewantara mengemukakan tiga kalimat padat yang terkenal yaitu
ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani.
Dari ketiga kalimat tersebut, etika guru terhadap peserta didik tercermin.
Kalimat-kalimat tersebut mempunyai makna yang sesuai dalam konteks ini.
Pertama, guru hendaknya
memberi contoh yang baik bagi anak didiknya. Ada pepatah Sunda yang akrab
ditelinga kita yaitu “Guru digugu dan Ditiru” (diikuti dan diteladani). Pepatah
ini harus diperhatikan oleh guru sebagai tenaga pendidik. Guru adalah contoh
nyata bagi anak didiknya. Semua tingkah laku guru hendaknya jadi teladan.
Menurut Nurzaman keteladanan seorang guru merupakan perwujudan realisasi
kegiatan belajr mengajar, serta menanamkan sikap kepercayaan terhadap siswa.
Seorang guru berpenampilan baik dan sopan akan sangat mempengaruhi sikap siswa.
Sebaliknya, seorang guru yang bersikap premanisme akan berpengaruh buruk
terhadap sikap dan moral siswa. Disamping itu, dalam memberikan contoh kepada
peserta didik guru harus dapat mencontohkan bagaimana bersifat objektif,
terbuka akan kritikan, dan menghargai pendapat orang lain.
Kedua, guru harus dapat
mempengaruhi dan mengendalikan anak didiknya. Dalam hal ini, prilaku dan
pribadi guru akan menjadi instrumen ampuh untuk mengubah prilaku peserta didik.
Sekarang, guru bukanlah sebagai orang yang harus ditakuti, tetapi hendaknya
menjadi ‘teman’ bagi peserta didik tanpa menghilangkan kewibawaan sebagai
seorang guru. Dengan hal itu guru dapat mempengaruhi dan mampu mengendalikan
peserta didik.
Ketiga, hendaknya guru
menghargai potensi yang ada dalam keberagaman siswa. Bagi seorang guru,
keberagaman siswa yang dihadapinya adalah sebuah wahana layanan profesional
yang diembannya. Layanan profesional guru akan tampil dalam kemahiran memahami
keberagaman potensi dan perkembangan peserta didik, kemahiran mengintervensi
perkembangan peserta didik dan kemahiran mengakses perkembangan peserta didik.
Semua kemahiran
tersebut perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh dan sistematis, secara
akademik, tidak bisa secara alamiah, dan semua harus terinternalisasi dan
teraktualisasi dalam perilaku mendidik. Sementara itu, prinsip manusia
seutuhnya dalam kode etik ini memandang manusia sebagai kesatuan yang bulat,
utuh, baik jasmani maupun rohani. Peserta didik tidak hanya dituntut berlimu pengetahuan
tinggi, tetapi harus bermoral tinggi juga. Guru dalam mendidik seharusnya tidak
hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja, tetapi juga
harus memperhatikan perkembangan pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani,
sosial maupun yang lainnya yang sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini
dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi manusia yang
mampu menghadapi tantangan-tantangan di masa depan. Peserta didik tidak dapat
dipandang sebagai objek semata yang harus patuh pada kehendak dan kemauan guru.
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa etika guru
profesional terhadap anak didik adalah seorang guru itu harus melakukan tugas
utamanya yaitu mendidik, mengajarkan, mengarahkan, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didiknya seta mampu menjadi tauladan yang baik bagi
peserta didiknya pada tiap tingkatan-tingkatan jenjang pendidikan.
3.
Etika Guru Profesional
terhadap pekerjaan
Pekerjaan guru adalah
pekerjaan yang mulia. Sebagai seorang yang profesional , guru harus melayani
masyarakat dalam bidang pendidikan dengan profesional juga. Agar dapat
memberikan layanan yang memuaskan masyarakat, guru harus dapat menyesuaikan
kemampuan dan pengetahuannya dengan keinginan dan permintaan masyarakat.
Keinginan dan permintaan ini selalu berkembang sesuai dengan perkembangan
masyarakat yang biasanya dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh
sebab itu, guru selalu dituntut untuk secara terus menerus meningkatkan dan
mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan mutu layanannya. Keharusan
meningkatkan dan mengembangkan mutu ini merupakan butir keenam dalam Kode Etik
Guru Indonesia yang berbunyi “Guru secara pribadi dan bersama-sama
mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya”.
Secara profesional,
guru tidak boleh dilanda sifat merasa diri sudah sempurna dengan ilmu
yang dimilikinya, melainkan harus belajar terus menerus. Bagi seorang guru,
belajar terus menerus adalah hal yang mutlak. Hal ini karena yang dihadapi
adalah peserta didik yang sedang berkembang dengan segala dinamikanya yang
memerlukan pemahaman dan kearifan dalam bertindak dan menanganinya. Untuk
meningkatkan mutu profesinya, menurut Soejipto dan Kosasi ada dua cara yaitu
cara formal dan cara informal. Secara formal artinya guru mengikuti pendidikan
lanjutan dan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah
lainnya. Secara informal dapat dilakukan melalui televisi, radio, koran, dan
sebagainya.
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa etika guru
profesional terhadap pekerjaan adalah seorang guru
itu harus bekerja dengan hati yang ikhlas dan sabar serta profesional karena
pekerjaan seorang guru itu merupakan pekerjaan yang sangat mulia dan menuntut
banyaknya kesabaran didalam tugasnya dan harus mampu menciftakan generasi-generasi
penurus bangsa yang ideal yang mampu berkontribusi untuk memajukan bangsa dan
negara.
4.
Etika Guru Profesional
Terhadap Tempat kerja
Sudah diketahui bersama
bahwa suasana yang baik ditempat kerja akan meningkatkan produktivitas.
Ketidakoptimalan kinerja guru antara lain disebabkan oleh lingkungan kerja yang
tidak menjamin pemenuhan tugas dan kewajiban guru secara optimal. Dalam UU No.
20/2003 pasal 1 bahwa pemerintah berkewajiban menyiapkan lingkungan dan
fasilitas sekolah yang memadai secara merata dan bermutu diseluruh jenjang
pendidikan. Jika ini terpenuhi, guru yang profesional harus mampu memanfaatkan
fasilitas yang ada dalam rangka terwujudnya manusia seutuhnya sesuai dengan
Visi Pendidikan Nasional.
Disisi lain, jika kita
dihadapkan dengan tempat kerja yang tidak mempunyai fasilitas yang memadai
bahkan buku pelajaran saja sangat minim. Ternyata, keprofesionalan guru sangat
diuji disini. Tanpa fasilitas yang memadai guru dituntut untuk tetap
profesional dalam membimbing anak didik. Kreatifitas guru harus dikembangkan
dalam situasi seperti ini. Berkaitan dengan ini, pendekatan pembelajaran
kontekstual dapat menjadi pemikiran para guru untuk lebih kreatif. Dalam
pendekatan ini, diartikan strategi belajar yang membantu guru mengaitkan materi
pelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa mengaitkan
pengetahuan yang telah dimilikinya drngan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari. Sementara itu, sikap profesional guru terhadap tempat kerja juga
dengan cara menciptakan hubungan harmonis di lingkungan tempat kerja, baik di
lingkungan sekolah, masyarakat maupun dengan orang tua peserta didik.
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa etika guru
profesional terhadap tempat kerja adalah guru yang mampu memanfaatkan dan
memperoleh sarana dan prasarana untuk menunjang kelancaran proses pembelajaran.
Dan guru juga dituntut untuk kreatif, inovatif dalam menghadapi keadaan
disetiap tempatnya bekerja.
B. Model pengembangan profesi guru
Profesionalitas adalah sikap seorang professional yang
menjunjung tinggi kemampuan profesinya, ia akan bekerja dan mengerjakan sesuatu
sesuai bidangnya.[1]
Profesionalisme guru adalah suatu tingkat penampilan seseorang dalam
melaksanakan pekerjaan sebagai guru yang didukung dengan keterampilan dan kode
etik.[2]
Model pengembangan profesionalitas guru yang strategis adalah melalui
pengembangan watak guru, yaitu: watak guru yang paripurna. Dalam Undang –
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa
pendidikan adalah : “ suatu upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,
kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, seta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.[3]
Selanjutnya, fungsi dan tujuan pendidikan adalah: “Pendidikan
nasional berfungsi menembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Es, serta berakhlak mulia,sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab”.
Dari rumusan tersebut, jelas sekali secara tersurat dan
tersirat bahwa membangun watak nominal atau national character building merupakan
pendidikan nasional. Terkait dengan hal itu, guru memiliki peran yang ama
strategis dalam upaya membangun watak bangsa. Semua upah harus diawali dengan
membangun watak guru yang utuh dan paripurna. Untuk itulah watak guru itu menjadi
sangatlah penting. Kualitas watak seseorang akan tercermin pada penampilan
kepribadiannya ditinjau dari sudut nilai- nilai moral.
Watak paripurna merupakan keseluruhan penampilan kepribadian
dalam keutuhan perilaku berdasarkan timbangan nilai-nilai moralitas bangsa.
Oleh karena itu, di Indonesia yang menjadi landasan timbangan watak adalah
nilai moral yaitu moral Pancasila. Dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam
jurnal “The ASCA Counselor” Vol.35 No.2, Sharon Wisniewski Dan Keneth
Miller menyebutkan bahwa watak dipandang
sebagai suatu hubungan timbal balik yang sehat antara diri (self) dengan
tiga hal yang pasti ada, yaitu lingkungan internal (diri), lingkungan
eksternal, dan lingkungan spiritual (sesuatu yang maha besar dan abadi). Atas
dasar pendangan itu maka empat tingkatan mutu watak, yaitu:
1. tingkatan nol merupakan “reactive personality” atau kepribadian
reaktif yaitu tingkatan watak yang sifatnya sedikit tidak ada timbangan –
timbanga moral dalam perilaku sebagai ciri – ciri kepribadiannya.
2. tingkatan satu merupakan watak yang
ditandai dengan kemampuan melakukan hubungan timbal balik secara sehat terhadap
dirinya sendiri dengan kendali emosional yang mantap. Tingkatan ini disebut
juga sebagai watak yang dilandasi oleh “emotional intelligence” atau
kecerdasan emosional, yaitu kemampuan menampilkan kepribadian dengan kekuatan
emosional yang mantap sehingga mampu mewujudkan perilaku yang sesuai dengan
nilai-nilai moral.
3. tingkatan dua merupakan watak dalam tingkatan kemampuan untuk melakukan
hubungan timbal balik secara sehat antara dirinya sendiri dan orang lain dan
lingkungan yang lebih luas. Watak tingkatan ini disebut “moral intelligence”
atau kecerdasan moral, yaitu watak yang terwujud karena kepribadiannya
tercermin atas dasar perilaku berdasarkan timbangan moral yang matang.
4. tingkatan tiga adalah “spiritual intelligence” watak yang ditandai dengan kemampuan melakukan
hubungan timbal balik secara sehat dengan lingkungan maha besar diluar dirinya,
yaitu “Tuhan Yang Maha Esa”, disamping kemampuannya berhubungan timbal balik
secara sehat dengan dirinya sendiri dan orang lain serta lingkungan. Landasan
utama tingkatan ini adalah kualitas keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa.
Dalam upaya mengembangkan watak para guru agar mereka menjadi
teladan dan model bagi para siswa, Mohammad Surya dengan merujuk pada pendapat
Hermawan Kertajaya mengemukakan model pengembangan profesionalitas dengan pola “growth
with character”. Dengan mengembangkan model tersebut, profesionalitas dapat
dikembangkan dengan mendinamiskan tiga pilar utama karakter yaitu: keunggulan (excellence),
kemauan kuat (passion), dan etika (ethical).
1. keunggulan (excellence), yang mempunyai makna bahwa guru harus
memiliki keunggulan tertentu dalam bidang dan dunianya. Dengan cara:
a. commitment atau purpose (komitmen dan tujuan)
b. opening your gift atau ability
c. being the first and the best you can be atau
motivation
d. continuous improvement
2. passion for profesionalisme, yaitu kemauan yang kuat yang secara intrinsik menjiwai keseluruhan
pola-pola profesionalitas, yaitu:
a. passion for knowledge
b. passion for business
c. passion for service
d. passion for people
3. etika (ethical), etika terwujud dalam watak yang sekaligus sebagai
fondasi utama bagi terwujudnya profesionalitas paripurna. Dalam pilar ketiga
ini sekurang-kurangnya ada enam karakter yang esensial yaitu:
a. trustworthiness
b. responsibility
c. respecr
d. fairness
e. care
f.
citizenship[4]
Dalam pelaksanaan
pengembangan profesioanal guru, Syaefudin dan Kurniatun memberikan beberapa
prinsip yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pengembangan untuk tenaga
pendidikan, yaitu:[5]
1. Dilakukan untuk semua jenis tenaga pendidikan (baik untuk tenaga
struktural, fungsional, maupun teknis)
2. Berorientasi pada perubahan tingkah laku dalam rangka peningkatan kemampuan
profesional dan untuk teknis pelaksanaan tugas harian sesuai posisi
masing-masing.
3. Dilaksanakan untuk mendorong meningkatnya kontribusi setiap individu
terhadap organisasi pendidikan.
4. Dirintis dan diarahkan untuk mendidik dan melatih seseorang sebelum maupun
sesudah menduduki jabatan/posisi.
5. Dirancang untuk memenuhi tuntutan pertumbuhan dalam jabatan, pengembangan
profesi, pemecahan masalah, kegiatan-kegiatan remidial, pemeliharaan motivasi
kerja, dan ketahanan organisasi pendidikan.
6. Pengembangan yang menyangkut jenjang karir sebaiknya disesuaikan dengan
kategori masing-masing jenis tenaga kependidikan itu sendiri.
Mulyasa sebagaimana
dikutip oleh Udin Saefudin menyebutkan bahwa pengembangan guru dapat dilakukan dengan
cara on the job training dan in service training (penataran).
Sedangkan menurut Soetjipto dan Kosasi, pengembangan sikap profesional guru
dapat dapat dilakukan selama dalam pendidikan prajabatan maupun setelah
bertugas (dalam jabatan).
1.
Pengembangan profesional
dalam pendidikan prajabatan
Dalam pendidikan prajabatan, calon guru dididik dalam berbagai pengetahuan,
sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaannya nanti. Pembentukan
sikap yang baik tidak mungkin muncul begitu saja, tetapi harus dibina sejak
sejak calon guru memulai pendidikannya di lembaga pendidikan guru. Berbagai
usaha dan latihan, contoh-contoh dan aplikasi penerapan ilmu, keterampilan dan
bahkansikap profesional diracang selama calon.
2.
Pengembangan
profesional selama dalam jabatan
Pengembangan sikap profesional tidak terhenti apabila calon guru selesai
mendapatkan pendidikan prajabatan. Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam
rangka peningkatan sikap profesional. Peningkatan ini dapat dilakukan dengan
cara formal melalui kegiatan penataran, lokakarya, seminar atau kegiatan ilmiah
lainnya, ataupun n secara informal melalui media massa seperti televisi, radio,
koran, majalah dan publikasi lainnya. Kegiatan ini dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan, sekaligus dapat juga meningkatkan sikap
profesional keguruan.
Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan beberapa
alternatif Program Pengembangan
Profesionalisme Guru, diantaranya yaitu:[6]
1.
Program Peningkatan
Kualifikasi Pendidikan Guru
Sesuai dengan peraturan yang berlaku bahwa kualifikasi pendidikan guru
adalah minimal S1 dari program keguruan, maka masih ada guru-guru yang belum
memenuhi ketentuan tersebut. Oleh kareananya program ini diperuntukan bagi guru
yang belum memiliki kulaifikasi pendidikan minimal S1untuk mengikuti pendidikan
S1 atau S2 pendidikan keguruan. Program ini berupa program kelanjutan studi
dalam bentuk tugas belajar.
2.
Program Penyetaraan dan
Sertifikasi
Program ini
diperuntukan bagi guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang
pendidikannya atau atau bukan berasal dari pendidikan keguruan. Keadaan ini
terjadi kerena sekolah mengalami keterbatasan atau kelebihan guru mata
pelajaran tertentu. Sering terjadi kualifikasi pendidikanmereka lebih tinggi
dari kualifikasi yang dituntut namun tidak sesuai, misalnya berijazah S1 tetapi
bukan kependidikan. Mereka bisa mengikuti program penyetaraan atau sertifikasi.
3.
Membaca dan menulis
jurnal atau karya ilmiah
Sebagaimana diketahui bahwa jurnal atau bentuk makalah ilmiah lainnya
secara berkesinambungan diprroduksi oleh individual pengarang, lembaga
pendidikan maupun lembaga-lembaga lain. Jurnal ataua bentuk karya ilmiah
lainnya tersebut tersebar dan dapat ditemui di berbagai pusat sumber belajar
(perpustakaan, internet, dan sebagainya). Walaupun artikel dalam jurnal
cenderung singkat, tetapi tetapi dapat mengarahkan pembacanya kepada
konsep-konsep baru dan pandangan untuk menuju kepada perencanaan dan penelitian
baru. Dengan membaca dan memahami isi jurnal atau makalah ilmiah lainnya dalam
bidang pendidikan, guru dapat mengembangkan profeionalismenya.
4.
Melakukan Penelitian
(khususnya Penelitian Tindakan Kelas)
Penelitian Tindakan kelas (PTK)yang merupakan studi sistematik yang
dilakukan guru melalui kerjasama atau tidak dengan ahli pendidikan dalam rangka
merefleksikan dan sekaligus meningkatkan praktik pembelajaran secara terus
menerus juga merupakan strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme
guru. Berbagai kajian yang bersifat reflektif yang dilakukan untuk meningkatkan
kemantapan rasional, memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan
dalam melaksanakan tugasnya,dan memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran
berlangsung akan bermanfaat sebagai inovasi pendidikan.
5.
Magang
Magang ini dilakuakan bagi para guru pemula. Bentuk pelatihan pre-service atau in-service bagi
guru junior untuk secara gradual menjadi guru profesional melalui proses magang
di kelas tertentu dengan bimbingan guru bidang studi tertentu. Berbeda dengan
pendekatan pelatihan yang konvesional, fokus pelatihan magang ini adalah
kombinasi antara materi akademis dengan suatu pengalaman lapangan di bawah
supervisi guru yang senior.
6.
Berpartisipasi dan
Aktif dalam Organisasi Profesi
Ikut serta dalam organisasi/komunitas profesional juga akan meningkatkan
profesionalisme seorang guru. Organisasi profesional biasanya akan melayani
anggotanya untuk mengembangkan dan memelihara profesionalismenya dengan
membangun hubungan yang erat dengan masyarakat (swasta, idustri, dan sebagainya).
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa model pengembangan profesionalitas guru yang strategis
adalah melalui pengembangan watak seorang guru yang paripurna dengan empat
tingkatan mutu watak guru, yaitu: tingkatan nol (reactive personality), tingkatan
satu (emotional intelligence), tingkatan dua (moral intelligence),
tingkatan tiga (spiritual intelligence). Profesionalitas juga dapat
dikembangkan dengan mendinamiskan tiga pilar utama karakter yaitu: keunggulan (excellence),
kemauan kuat (passion), dan etika (ethical). Dan pengembangan
sikap profesional guru dapat dilakukan selama dalam pendidikan prajabatan
maupun setelah bertugas (dalam jabatan).
C. KESIMPULAN
Dari makalah diatas
dapat disimpulkan bahwa Pendidikan yang memenuhi etika adalah pendidikan yang
memiliki akuntabilitas yang tinggi dalam menyelenggarakannya. Akunstabilitas
mampu membatasi ruang gerak terjadinya perubahan, pengulangan dan revisi
perencanaan. Sebagai alat kontrol akuntabilitas memberi kepastian pada
aspek-aspek penting perencanan yaitu tujuan atau fenomena yang ingin dicapai,
program atau tugas yang harus dikerjakan mencapai tujuan, cara atau
pelakasanaan mengerjakan tugas, dana, alat, dan metode yang dipakai jelas,
lingkungan tempat program yang dilaksanakan. Dalam hal ini diperlukan
model-model etika seorang guru yang profesional,yaitu:
1.
Etika
Guru Profesional Terhadap Peraturan Undang-Undang
2.
Etika
Guru Profesional Terhadap Anak didik
3.
Etika
Guru Profesional Terhadap Pekerjaan
4.
Etika
Guru Profesional Terhadap Tempat Kerja
Model pengembangan
profesionalitas guru yang strategis adalah melalui pengembangan watak guru, yaitu:
watak guru yang paripurna dengan empat tingkatan mutu watak guru, yaitu:
tingkatan nol (reactive personality), tingkatan satu (emotional
intelligence), tingkatan dua (moral intelligence), tingkatan
tiga (spiritual intelligence). Profesionalitas dapat dikembangkan juga dengan
mendinamiskan tiga pilar utama karakter yaitu: keunggulan (excellence),
kemauan kuat (passion), dan etika (ethical). Pengembangan sikap
profesional guru dapat dapat dilakukan selama dalam pendidikan prajabatan
maupun setelah bertugas (dalam jabatan).
Direktorat Jenderal
Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan
beberapa alternatif Program Pengembangan
Profesionalisme Guru, diantaranya yaitu: Program Peningkatan Kualifikasi
Pendidikan Guru, Program Penyetaraan dan Sertifikasi, Membaca dan menulis
jurnal atau karya ilmiah, Melakukan Penelitian (khususnya Penelitian Tindakan
Kelas), Magang, Berpartisipasi dan Aktif dalam Organisasi Profesi.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakar, Yunus Dan Nurjan
Syarifan. 2009 , Profesi Keguruan, Surabaya:Aprinta
Mudlofir, Ali. 2012. Pendidik Profesional. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada. Hal 123
Kartadinata. 2004. “Senja Kala Profesi Guru”.
Diakses Tanggal 3 Desember 2007 tersedia pada http://www.Pikiran.com/cetak/1104/24/0802.htm
Nurzaman. 2005. “Tingkatkan Mutu Siswa Lewat
Profesional Guru”. Diakses Tanggal 3
Desember 2007 tersedia pada
Syaefudin Saud, Udin.
2011. Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta.
Saudagar, Fachruddin dan Idrus, Ali. 2000,
Pengembangan Profesionalitas Guru, Jakarta:
Gaung Persada Press,
hlm.7