Rabu, 14 Oktober 2015

model pengembangan profesi guru



A.      Pendahuluan
Suatu lembaga pendidikan akan berhasil atau maju apabila suatu pekerjaan yang ditangani secara profesionalis oleh suatu ekosistem lembaga pendidikan tersebut, baik dari wilayah lembaga maupun hubungan yang terjadi dengan wilayah lembaga tersebut. Namun suatu pekerjaan tersebut harus dikerjakan secara sungguh-sungguh dan serius oleh orang yang memiliki profesi di bidang tersebut.
Pengelolaan pendidikan yang belum sesuai standar manajemen pendidikan ini mungkin akibat tidak sesuainya hasil dari pendidikan yang tidak berbuah dan tidak menjamin terpenuhinya kompetensi, dan masih adanya kekeliruan etika yang hanya memberikan pengetahuan saja, sehingga masih banyak kejadian yang tidak terpuji secara etika dan normatif. Etika yang dibangun adalah menjadikan pendidikan dapat membentuk karakteristik untuk menjadi manusia yang baik, berbudi pekerti luhur, moral yang tinggi dan dapat menjadi modal hidup bagi manusia yang menjunjung tinggi etika.
Guru adalah salah satu di antara faktor pendidikan yang memiliki peranan yang paling strategis, sebab gurulah sebetulnya pemain yang paling menentukan didalam terjadinya proses belajar mengajar. Berangkat dari asumsi tersebut, maka langkah pertama yang dilakukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan adalah dengan memperbaiki kualitas tenaga pendidiknya terlebih dahulu.
Dengan uraian diatas maka timbul pertanyaann upaya apakah yang dilakukan sehingga seorang guru menempatkan dirinya sebagai tenaga profesionalis. Untuk itu, makalah ini akan mncoba menguraikan apa Model-Model Etika Guru Profesional?, apa Model pengembangan profesi guru?







A.      Model-Model Etika Guru Profesional
Pendidikan yang memenuhi etika adalah pendidikan yang memiliki akuntabilitas yang tinggi dalam menyelenggarakannya. Akunstabilitas mampu membatasi ruang gerak terjadinya perubahan, pengulangan dan revisi perencanaan. Sebagai alat kontrol akuntabilitas memberi kepastian pada aspek-aspek penting perencanan yaitu tujuan atau fenomena yang ingin dicapai, program atau tugas yang harus dikerjakan mencapai tujuan, cara atau pelakasanaan mengerjakan tugas, dana, alat, dan metode yang dipakai jelas, lingkungan tempat program yang dilaksanakan. Sedangkan akuntabilitas pelayanan pendidikan di sekolah mempersoalkan etika dan moralitas penyelenggaraan yang dilakukan dengan berbagai upaya agar kelembagaan sekolah dapat dipercaya, memiliki tanggung jawab kepada berbagai pihak kepentingan, sehingga memperoleh kepuasan atas kualitas kinerja sekolah. Dalam hal ini diperlukan model-model etika seorang guru yang profesional,yaitu:
1.         Etika Guru Profesional Terhadap Peraturan Undang-Undang
Pada butir kesembilan Kode Etik Guru Indonesia disebutkan bahwa “Guru melaksanakan segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan”. Dengan jelas bahwa dalam kode etik tersebut diatur bahwa guru di Indonesia harus taat akan peraturan perundang-undangan yang di buat oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasonal. Guru merupakan aparatur negara dan abdi negara dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, guru mutlak harus mengetahui kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan dan melaksanakannya sebagaimana aturan yang berlaku. Sebagai contoh pemerintah mengeluarkan kebijakan yaitu mengubah kurikulum dari kurikulum KTSP dan kemudian diubah lagi menjadi kurikulum 2013  dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan.
Dalam kurikulum tersebut, secara eksplisit bahwa hendaknya guru menggunakan pendekatan sainstifik dalam pembelajarannya. Seorang guru yang profesional taat akan peraturan yang berlaku dengan cara menerapkan kebijakan pendidikan yang baru tersebut dan akan menerima tantangan baru tersebut, yang nantinya diharapkan akan dapat memacu produktivitas guru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa etika guru profesional terhadap Peraturan Undang-Undang adalah seorang guru itu dituntut untuk mentaati segala sesuatu yang terdapat di dalam peraturan Peraturan Undang-Undang yang telah dibuat oleh pemerintah, seorang guru itu harus memiliki empat kompetensi yaiut: kompetensi pedagogik, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
                                                                                                  
2.        Etika Guru Profesional Terhadap Anak Didik
Dalam Kode Etik Guru Indonesia dengan jelas dituliskan bahwa guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia seutuhnya yang berjiwa pancasila. Dalam membimbing anak didiknya Ki Hajar Dewantara mengemukakan tiga kalimat padat yang terkenal yaitu ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, dan tut wuri handayani. Dari ketiga kalimat tersebut, etika guru terhadap peserta didik tercermin. Kalimat-kalimat tersebut mempunyai makna yang sesuai dalam konteks ini.
Pertama, guru hendaknya memberi contoh yang baik bagi anak didiknya. Ada pepatah Sunda yang akrab ditelinga kita yaitu “Guru digugu dan Ditiru” (diikuti dan diteladani). Pepatah ini harus diperhatikan oleh guru sebagai tenaga pendidik. Guru adalah contoh nyata bagi anak didiknya. Semua tingkah laku guru hendaknya jadi teladan. Menurut Nurzaman keteladanan seorang guru merupakan perwujudan realisasi kegiatan belajr mengajar, serta menanamkan sikap kepercayaan terhadap siswa. Seorang guru berpenampilan baik dan sopan akan sangat mempengaruhi sikap siswa. Sebaliknya, seorang guru yang bersikap premanisme akan berpengaruh buruk terhadap sikap dan moral siswa. Disamping itu, dalam memberikan contoh kepada peserta didik guru harus dapat mencontohkan bagaimana bersifat objektif, terbuka akan kritikan, dan menghargai pendapat orang lain.
Kedua, guru harus dapat mempengaruhi dan mengendalikan anak didiknya. Dalam hal ini, prilaku dan pribadi guru akan menjadi instrumen ampuh untuk mengubah prilaku peserta didik. Sekarang, guru bukanlah sebagai orang yang harus ditakuti, tetapi hendaknya menjadi ‘teman’ bagi peserta didik tanpa menghilangkan kewibawaan sebagai seorang guru. Dengan hal itu guru dapat mempengaruhi dan mampu mengendalikan peserta didik.
Ketiga, hendaknya guru menghargai potensi yang ada dalam keberagaman siswa. Bagi seorang guru, keberagaman siswa yang dihadapinya adalah sebuah wahana layanan profesional yang diembannya. Layanan profesional guru akan tampil dalam kemahiran memahami keberagaman potensi dan perkembangan peserta didik, kemahiran mengintervensi perkembangan peserta didik dan kemahiran mengakses perkembangan peserta didik.
Semua kemahiran tersebut perlu dipelajari dengan sungguh-sungguh dan sistematis, secara akademik, tidak bisa secara alamiah, dan semua harus terinternalisasi dan teraktualisasi dalam perilaku mendidik. Sementara itu, prinsip manusia seutuhnya dalam kode etik ini memandang manusia sebagai kesatuan yang bulat, utuh, baik jasmani maupun rohani. Peserta didik tidak hanya dituntut berlimu pengetahuan tinggi, tetapi harus bermoral tinggi juga. Guru dalam mendidik seharusnya tidak hanya mengutamakan pengetahuan atau perkembangan intelektual saja, tetapi juga harus memperhatikan perkembangan pribadi peserta didik, baik jasmani, rohani, sosial maupun yang lainnya yang sesuai dengan hakikat pendidikan. Ini dimaksudkan agar peserta didik pada akhirnya akan dapat menjadi manusia yang mampu menghadapi tantangan-tantangan di masa depan. Peserta didik tidak dapat dipandang sebagai objek semata yang harus patuh pada kehendak dan kemauan guru.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa etika guru profesional terhadap anak didik adalah seorang guru itu harus melakukan tugas utamanya yaitu mendidik, mengajarkan, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didiknya seta mampu menjadi tauladan yang baik bagi peserta didiknya pada tiap tingkatan-tingkatan jenjang pendidikan.



3.        Etika Guru Profesional terhadap pekerjaan
Pekerjaan guru adalah pekerjaan yang mulia. Sebagai seorang yang profesional , guru harus melayani masyarakat dalam bidang pendidikan dengan profesional juga. Agar dapat memberikan layanan yang memuaskan masyarakat, guru harus dapat menyesuaikan kemampuan dan pengetahuannya dengan keinginan dan permintaan masyarakat. Keinginan dan permintaan ini selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat yang biasanya dipengaruhi oleh perkembangan ilmu dan teknologi. Oleh sebab itu, guru selalu dituntut untuk secara terus menerus meningkatkan dan mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan mutu layanannya. Keharusan meningkatkan dan mengembangkan mutu ini merupakan butir keenam dalam Kode Etik Guru Indonesia yang berbunyi “Guru secara pribadi dan bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu dan martabat profesinya”.
Secara profesional, guru tidak boleh dilanda sifat merasa diri sudah sempurna dengan ilmu yang dimilikinya, melainkan harus belajar terus menerus. Bagi seorang guru, belajar terus menerus adalah hal yang mutlak. Hal ini karena yang dihadapi adalah peserta didik yang sedang berkembang dengan segala dinamikanya yang memerlukan pemahaman dan kearifan dalam bertindak dan menanganinya. Untuk meningkatkan mutu profesinya, menurut Soejipto dan Kosasi ada dua cara yaitu cara formal dan cara informal. Secara formal artinya guru mengikuti pendidikan lanjutan dan mengikuti penataran, lokakarya, seminar, atau kegiatan ilmiah lainnya. Secara informal dapat dilakukan melalui televisi, radio, koran, dan sebagainya.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa etika guru profesional terhadap pekerjaan adalah seorang guru itu harus bekerja dengan hati yang ikhlas dan sabar serta profesional karena pekerjaan seorang guru itu merupakan pekerjaan yang sangat mulia dan menuntut banyaknya kesabaran didalam tugasnya dan harus mampu menciftakan generasi-generasi penurus bangsa yang ideal yang mampu berkontribusi untuk memajukan bangsa dan negara.


4.        Etika Guru Profesional Terhadap Tempat kerja
Sudah diketahui bersama bahwa suasana yang baik ditempat kerja akan meningkatkan produktivitas. Ketidakoptimalan kinerja guru antara lain disebabkan oleh lingkungan kerja yang tidak menjamin pemenuhan tugas dan kewajiban guru secara optimal. Dalam UU No. 20/2003 pasal 1 bahwa pemerintah berkewajiban menyiapkan lingkungan dan fasilitas sekolah yang memadai secara merata dan bermutu diseluruh jenjang pendidikan. Jika ini terpenuhi, guru yang profesional harus mampu memanfaatkan fasilitas yang ada dalam rangka terwujudnya manusia seutuhnya sesuai dengan Visi Pendidikan Nasional.
Disisi lain, jika kita dihadapkan dengan tempat kerja yang tidak mempunyai fasilitas yang memadai bahkan buku pelajaran saja sangat minim. Ternyata, keprofesionalan guru sangat diuji disini. Tanpa fasilitas yang memadai guru dituntut untuk tetap profesional dalam membimbing anak didik. Kreatifitas guru harus dikembangkan dalam situasi seperti ini. Berkaitan dengan ini, pendekatan pembelajaran kontekstual dapat menjadi pemikiran para guru untuk lebih kreatif. Dalam pendekatan ini, diartikan strategi belajar yang membantu guru mengaitkan materi pelajaran dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa mengaitkan pengetahuan yang telah dimilikinya drngan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, sikap profesional guru terhadap tempat kerja juga dengan cara menciptakan hubungan harmonis di lingkungan tempat kerja, baik di lingkungan sekolah, masyarakat maupun dengan orang tua peserta didik.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa etika guru profesional terhadap tempat kerja adalah guru yang mampu memanfaatkan dan memperoleh sarana dan prasarana untuk menunjang kelancaran proses pembelajaran. Dan guru juga dituntut untuk kreatif, inovatif dalam menghadapi keadaan disetiap tempatnya bekerja.




B.       Model pengembangan profesi guru
       Profesionalitas adalah sikap seorang professional yang menjunjung tinggi kemampuan profesinya, ia akan bekerja dan mengerjakan sesuatu sesuai bidangnya.[1] Profesionalisme guru adalah suatu tingkat penampilan seseorang dalam melaksanakan pekerjaan sebagai guru yang didukung dengan keterampilan dan kode etik.[2] Model pengembangan profesionalitas guru yang strategis adalah melalui pengembangan watak guru, yaitu: watak guru yang paripurna. Dalam Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa pendidikan adalah : “ suatu upaya sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, seta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara”.[3]
       Selanjutnya, fungsi dan tujuan pendidikan adalah: “Pendidikan nasional berfungsi menembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Es, serta berakhlak mulia,sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.
       Dari rumusan tersebut, jelas sekali secara tersurat dan tersirat bahwa membangun watak nominal atau national character building merupakan pendidikan nasional. Terkait dengan hal itu, guru memiliki peran yang ama strategis dalam upaya membangun watak bangsa. Semua upah harus diawali dengan membangun watak guru yang utuh dan paripurna. Untuk itulah watak guru itu menjadi sangatlah penting. Kualitas watak seseorang akan tercermin pada penampilan kepribadiannya ditinjau dari sudut nilai- nilai moral.
       Watak paripurna merupakan keseluruhan penampilan kepribadian dalam keutuhan perilaku berdasarkan timbangan nilai-nilai moralitas bangsa. Oleh karena itu, di Indonesia yang menjadi landasan timbangan watak adalah nilai moral yaitu moral Pancasila. Dalam sebuah tulisan yang dimuat dalam jurnal “The ASCA Counselor” Vol.35 No.2, Sharon Wisniewski Dan Keneth Miller  menyebutkan bahwa watak dipandang sebagai suatu hubungan timbal balik yang sehat antara diri (self) dengan tiga hal yang pasti ada, yaitu lingkungan internal (diri), lingkungan eksternal, dan lingkungan spiritual (sesuatu yang maha besar dan abadi). Atas dasar pendangan itu maka empat tingkatan mutu watak, yaitu:
1.      tingkatan nol merupakan “reactive personality” atau kepribadian reaktif yaitu tingkatan watak yang sifatnya sedikit tidak ada timbangan – timbanga moral dalam perilaku sebagai ciri – ciri kepribadiannya.
2.       tingkatan satu merupakan watak yang ditandai dengan kemampuan melakukan hubungan timbal balik secara sehat terhadap dirinya sendiri dengan kendali emosional yang mantap. Tingkatan ini disebut juga sebagai watak yang dilandasi oleh “emotional intelligence” atau kecerdasan emosional, yaitu kemampuan menampilkan kepribadian dengan kekuatan emosional yang mantap sehingga mampu mewujudkan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai moral.
3.      tingkatan dua merupakan watak dalam tingkatan kemampuan untuk melakukan hubungan timbal balik secara sehat antara dirinya sendiri dan orang lain dan lingkungan yang lebih luas. Watak tingkatan ini disebut “moral intelligence” atau kecerdasan moral, yaitu watak yang terwujud karena kepribadiannya tercermin atas dasar perilaku berdasarkan timbangan moral yang matang.
4.      tingkatan tiga adalah “spiritual intelligence”  watak yang ditandai dengan kemampuan melakukan hubungan timbal balik secara sehat dengan lingkungan maha besar diluar dirinya, yaitu “Tuhan Yang Maha Esa”, disamping kemampuannya berhubungan timbal balik secara sehat dengan dirinya sendiri dan orang lain serta lingkungan. Landasan utama tingkatan ini adalah kualitas keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

       Dalam upaya mengembangkan watak para guru agar mereka menjadi teladan dan model bagi para siswa, Mohammad Surya dengan merujuk pada pendapat Hermawan Kertajaya mengemukakan model pengembangan profesionalitas dengan pola “growth with character”. Dengan mengembangkan model tersebut, profesionalitas dapat dikembangkan dengan mendinamiskan tiga pilar utama karakter yaitu: keunggulan (excellence), kemauan kuat (passion), dan etika (ethical).
1.      keunggulan (excellence), yang mempunyai makna bahwa guru harus memiliki keunggulan tertentu dalam bidang dan dunianya. Dengan cara:
a.      commitment atau purpose (komitmen dan tujuan)
b.      opening your gift atau ability
c.       being the first and the best you can be atau motivation
d.      continuous improvement
2.      passion for profesionalisme, yaitu kemauan yang kuat yang secara intrinsik menjiwai keseluruhan pola-pola profesionalitas, yaitu:
a.       passion for knowledge
b.      passion for business
c.       passion for service
d.      passion for people
3.      etika (ethical), etika terwujud dalam watak yang sekaligus sebagai fondasi utama bagi terwujudnya profesionalitas paripurna. Dalam pilar ketiga ini sekurang-kurangnya ada enam karakter yang esensial yaitu:
a.       trustworthiness
b.      responsibility
c.       respecr
d.      fairness
e.       care
f.         citizenship[4]

Dalam pelaksanaan pengembangan profesioanal guru, Syaefudin dan Kurniatun memberikan beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan pengembangan untuk tenaga pendidikan, yaitu:[5]
1.      Dilakukan untuk semua jenis tenaga pendidikan (baik untuk tenaga struktural, fungsional, maupun teknis)
2.      Berorientasi pada perubahan tingkah laku dalam rangka peningkatan kemampuan profesional dan untuk teknis pelaksanaan tugas harian sesuai posisi masing-masing.
3.      Dilaksanakan untuk mendorong meningkatnya kontribusi setiap individu terhadap organisasi pendidikan.
4.      Dirintis dan diarahkan untuk mendidik dan melatih seseorang sebelum maupun sesudah menduduki jabatan/posisi.
5.      Dirancang untuk memenuhi tuntutan pertumbuhan dalam jabatan, pengembangan profesi, pemecahan masalah, kegiatan-kegiatan remidial, pemeliharaan motivasi kerja, dan ketahanan organisasi pendidikan.
6.      Pengembangan yang menyangkut jenjang karir sebaiknya disesuaikan dengan kategori masing-masing jenis tenaga kependidikan itu sendiri.

Mulyasa sebagaimana dikutip oleh Udin Saefudin menyebutkan bahwa pengembangan guru dapat dilakukan dengan cara on the job training dan in service training (penataran). Sedangkan menurut Soetjipto dan Kosasi, pengembangan sikap profesional guru dapat dapat dilakukan selama dalam pendidikan prajabatan maupun setelah bertugas (dalam jabatan).
1.        Pengembangan profesional dalam pendidikan prajabatan
Dalam pendidikan prajabatan, calon guru dididik dalam berbagai pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan dalam pekerjaannya nanti. Pembentukan sikap yang baik tidak mungkin muncul begitu saja, tetapi harus dibina sejak sejak calon guru memulai pendidikannya di lembaga pendidikan guru. Berbagai usaha dan latihan, contoh-contoh dan aplikasi penerapan ilmu, keterampilan dan bahkansikap profesional diracang selama calon.

2.        Pengembangan profesional selama dalam jabatan
Pengembangan sikap profesional tidak terhenti apabila calon guru selesai mendapatkan pendidikan prajabatan. Banyak usaha yang dapat dilakukan dalam rangka peningkatan sikap profesional. Peningkatan ini dapat dilakukan dengan cara formal melalui kegiatan penataran, lokakarya, seminar atau kegiatan ilmiah lainnya, ataupun n secara informal melalui media massa seperti televisi, radio, koran, majalah dan publikasi lainnya. Kegiatan ini dapat meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, sekaligus dapat juga meningkatkan sikap profesional keguruan.

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan beberapa alternatif  Program Pengembangan Profesionalisme Guru, diantaranya yaitu:[6]
1.        Program Peningkatan Kualifikasi Pendidikan Guru
Sesuai dengan peraturan yang berlaku bahwa kualifikasi pendidikan guru adalah minimal S1 dari program keguruan, maka masih ada guru-guru yang belum memenuhi ketentuan tersebut. Oleh kareananya program ini diperuntukan bagi guru yang belum memiliki kulaifikasi pendidikan minimal S1untuk mengikuti pendidikan S1 atau S2 pendidikan keguruan. Program ini berupa program kelanjutan studi dalam bentuk tugas belajar.
2.        Program Penyetaraan dan Sertifikasi
Program ini diperuntukan bagi guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya atau atau bukan berasal dari pendidikan keguruan. Keadaan ini terjadi kerena sekolah mengalami keterbatasan atau kelebihan guru mata pelajaran tertentu. Sering terjadi kualifikasi pendidikanmereka lebih tinggi dari kualifikasi yang dituntut namun tidak sesuai, misalnya berijazah S1 tetapi bukan kependidikan. Mereka bisa mengikuti program penyetaraan atau sertifikasi.

3.        Membaca dan menulis jurnal atau karya ilmiah
Sebagaimana diketahui bahwa jurnal atau bentuk makalah ilmiah lainnya secara berkesinambungan diprroduksi oleh individual pengarang, lembaga pendidikan maupun lembaga-lembaga lain. Jurnal ataua bentuk karya ilmiah lainnya tersebut tersebar dan dapat ditemui di berbagai pusat sumber belajar (perpustakaan, internet, dan sebagainya). Walaupun artikel dalam jurnal cenderung singkat, tetapi tetapi dapat mengarahkan pembacanya kepada konsep-konsep baru dan pandangan untuk menuju kepada perencanaan dan penelitian baru. Dengan membaca dan memahami isi jurnal atau makalah ilmiah lainnya dalam bidang pendidikan, guru dapat mengembangkan profeionalismenya.

4.        Melakukan Penelitian (khususnya Penelitian Tindakan Kelas)
Penelitian Tindakan kelas (PTK)yang merupakan studi sistematik yang dilakukan guru melalui kerjasama atau tidak dengan ahli pendidikan dalam rangka merefleksikan dan sekaligus meningkatkan praktik pembelajaran secara terus menerus juga merupakan strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme guru. Berbagai kajian yang bersifat reflektif yang dilakukan untuk meningkatkan kemantapan rasional, memperdalam pemahaman terhadap tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan tugasnya,dan memperbaiki kondisi dimana praktik pembelajaran berlangsung akan bermanfaat sebagai inovasi pendidikan.

5.        Magang
Magang ini dilakuakan bagi para guru pemula. Bentuk pelatihan  pre-service atau in-service bagi guru junior untuk secara gradual menjadi guru profesional melalui proses magang di kelas tertentu dengan bimbingan guru bidang studi tertentu. Berbeda dengan pendekatan pelatihan yang konvesional, fokus pelatihan magang ini adalah kombinasi antara materi akademis dengan suatu pengalaman lapangan di bawah supervisi guru yang senior.

6.        Berpartisipasi dan Aktif dalam Organisasi Profesi
Ikut serta dalam organisasi/komunitas profesional juga akan meningkatkan profesionalisme seorang guru. Organisasi profesional biasanya akan melayani anggotanya untuk mengembangkan dan memelihara profesionalismenya dengan membangun hubungan yang erat dengan masyarakat (swasta, idustri, dan sebagainya).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa model pengembangan profesionalitas guru yang strategis adalah melalui pengembangan watak seorang guru yang paripurna dengan empat tingkatan mutu watak guru, yaitu: tingkatan nol (reactive personality), tingkatan satu (emotional intelligence), tingkatan dua (moral intelligence), tingkatan tiga (spiritual intelligence). Profesionalitas juga dapat dikembangkan dengan mendinamiskan tiga pilar utama karakter yaitu: keunggulan (excellence), kemauan kuat (passion), dan etika (ethical). Dan pengembangan sikap profesional guru dapat dilakukan selama dalam pendidikan prajabatan maupun setelah bertugas (dalam jabatan).














C.      KESIMPULAN
Dari makalah diatas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan yang memenuhi etika adalah pendidikan yang memiliki akuntabilitas yang tinggi dalam menyelenggarakannya. Akunstabilitas mampu membatasi ruang gerak terjadinya perubahan, pengulangan dan revisi perencanaan. Sebagai alat kontrol akuntabilitas memberi kepastian pada aspek-aspek penting perencanan yaitu tujuan atau fenomena yang ingin dicapai, program atau tugas yang harus dikerjakan mencapai tujuan, cara atau pelakasanaan mengerjakan tugas, dana, alat, dan metode yang dipakai jelas, lingkungan tempat program yang dilaksanakan. Dalam hal ini diperlukan model-model etika seorang guru yang profesional,yaitu:
1.      Etika Guru Profesional Terhadap Peraturan Undang-Undang
2.      Etika Guru Profesional Terhadap Anak didik
3.      Etika Guru Profesional Terhadap Pekerjaan
4.      Etika Guru Profesional Terhadap Tempat Kerja
Model pengembangan profesionalitas guru yang strategis adalah melalui pengembangan watak guru, yaitu: watak guru yang paripurna dengan empat tingkatan mutu watak guru, yaitu: tingkatan nol (reactive personality), tingkatan satu (emotional intelligence), tingkatan dua (moral intelligence), tingkatan tiga (spiritual intelligence). Profesionalitas dapat dikembangkan juga dengan mendinamiskan tiga pilar utama karakter yaitu: keunggulan (excellence), kemauan kuat (passion), dan etika (ethical). Pengembangan sikap profesional guru dapat dapat dilakukan selama dalam pendidikan prajabatan maupun setelah bertugas (dalam jabatan).
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Dan Menengah Departemen Pendidikan Nasional menyebutkan beberapa alternatif  Program Pengembangan Profesionalisme Guru, diantaranya yaitu: Program Peningkatan Kualifikasi Pendidikan Guru, Program Penyetaraan dan Sertifikasi, Membaca dan menulis jurnal atau karya ilmiah, Melakukan Penelitian (khususnya Penelitian Tindakan Kelas), Magang, Berpartisipasi dan Aktif dalam Organisasi Profesi.


DAFTAR PUSTAKA

Abu Bakar, Yunus Dan Nurjan Syarifan. 2009 , Profesi Keguruan, Surabaya:Aprinta

Mudlofir, Ali. 2012. Pendidik Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal 123

Kartadinata. 2004. “Senja Kala Profesi Guru”. Diakses Tanggal 3 Desember 2007 tersedia pada http://www.Pikiran.com/cetak/1104/24/0802.htm

Nurzaman. 2005. “Tingkatkan Mutu Siswa Lewat Profesional Guru”. Diakses Tanggal 3
Desember 2007 tersedia pada

Syaefudin Saud, Udin. 2011. Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta.

Saudagar, Fachruddin dan Idrus, Ali. 2000,  Pengembangan Profesionalitas Guru, Jakarta:
Gaung Persada Press, hlm.7











[1] Fachruddin Saudagar , Ali Idrus. 2000, Pengembangan Profesionalitas Guru,  Jakarta: Gaung
Persada Press, hlm.7
[2] Yunus Abu Bakar,Syarifan Nurjan. 2009, Profesi Keguruan, Surabaya:AprintA, Hal: 1- 10
[3] Ali Mudlofir. 2012. Pendidik Profesional. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal 123
[4] Ibid, hal 124-131
[5] Udin Syaefudin Saud, 2011. Pengembangan Profesi Guru. Bandung: Alfabeta. Hal.100
[6] Ibid, Hal.105-110